TEMPUH


Ingatkan selalu untuk senantiasa memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pastikan setiap langkah yang kita tempuh senantiasa disertai dengan ibadah, niat yang lurus, serta amal kebaikan yang tulus dari hati. Saya pribadi sangat menyadari, bahwa semua pencapaian dan pengalaman, sebesar atau sekecil apapun, tidak akan bermakna tanpa restu dan izin-Nya. Maka, dengan segala kerendahan hati, saya memohon kepada Allah SWT agar Dia memberkahi setiap langkah kita, mengampuni khilaf yang pernah terjadi, dan menuntun kita menuju kehidupan yang lebih utuh, bermakna, dan diridhai.

Izinkan saya membuka tulisan ini sebagai bentuk refleksi sekaligus sarana untuk berbagi pengalaman hidup—baik pengalaman pribadi maupun kisah nyata yang saya peroleh dari orang lain. Seluruh isi tulisan ini disampaikan dengan bahasa yang sederhana, disertai analogi-analogi yang mudah dipahami. Harapannya, pesan yang ingin disampaikan dapat terserap dengan baik dan memberikan manfaat, khususnya dalam membangkitkan semangat dan motivasi.

Tulisan ini saya tujukan kepada siapa pun yang tengah berada dalam masa-masa sulit—mengalami krisis mental, waktu, energi, kepercayaan, hingga kondisi finansial (Kehilangan Pekerjaan / sedang mencari pekerjaan). Saya memahami bahwa setiap orang memiliki pergumulan hidupnya masing-masing. Maka, melalui kisah ini, saya ingin menyampaikan bahwa ANDA BERSAMA TUHAN YANG MAHA ESA (Allah SWT)..

Jika disarikan, pengalaman hidup kita memiliki nilai yang sangat berharga. Di dalamnya terdapat berbagai fase dan peristiwa yang membentuk pribadi kita saat ini, mulai dari  kepercayaan, merasakan kehilangan, menghadapi perpisahan, mengalami penolakan, terjatuh dalam keterpurukan, hingga meneteskan air mata dalam diam.

Namun dari semua itu, saya belajar bahwa setiap peristiwa memiliki makna dan pelajaran tersendiri. Dengan memaknai setiap ujian sebagai bentuk kasih sayang dan rencana terbaik dari Allah SWT, saya berusaha bangkit dan menjadikan pengalaman itu sebagai pijakan untuk melangkah lebih kuat ke depan.

Izinkan saya pembukaan melalui intro music“Rock...”

*Sing..*

... “I let you cut me open just to watch me bleed

Gave up who I am for who you wanted me to be

Don't know why I′m hoping for what I won't receive

Falling for the promise of the emptiness machine”...

 

Sudah tidak asing bagi penggemar music rock (Linkin Park)  ,

Judul, "The Emptiness Machine": Ketika Pekerjaan Mengikis Makna Hidup

Bagi para penggemar musik rock, khususnya penikmat karya-karya Linkin Park, tentu sudah tidak asing dengan salah satu lagu terbaru mereka yang berjudul "The Emptiness Machine". Lagu ini dirilis pada 5 September 2024 sebagai singel utama dari album studio kedelapan mereka, From Zero. Menariknya, lagu ini menandai babak baru bagi Linkin Park, dengan hadirnya dua anggota baru—Emily Armstrong pada vokal dan Colin Brittain pada drum—menggantikan posisi dua sosok legendaris, mendiang Chester Bennington dan Rob Bourdon.

Secara komersial, lagu ini meraih kesuksesan besar. Ia berhasil menembus posisi puncak di berbagai tangga lagu internasional dan bahkan dinominasikan untuk penghargaan Top Hard Rock Song pada ajang Billboard Music Awards 2024. Penampilan perdananya dalam acara penggemar di Los Angeles pun menjadi momen emosional yang membawa kembali semangat para penggemar setia band ini.

Namun, dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud mengulas panjang lebar tentang kesuksesan komersial lagu tersebut. Yang justru menarik perhatian saya adalah makna mendalam yang terkandung dalam judul dan lirik The Emptiness Machine itu sendiri.

Lagu ini, secara gamblang namun puitis, menggambarkan sebuah kenyataan pahit yang dialami banyak orang di era modern ini: janji-janji palsu dunia kerja yang perlahan namun pasti, mengikis makna dan tujuan hidup seseorang. Istilah “mesin kekosongan” dalam lagu ini digunakan sebagai metafora yang sangat kuat—sebuah sistem kerja yang terus memutar, menghisap tenaga, pikiran, bahkan identitas diri, tanpa pernah benar-benar memberi kepuasan atau kebahagiaan sejati.

Lebih jauh lagi, lagu ini menyuarakan kekecewaan dan kelelahan emosional yang dirasakan seseorang ketika mereka merasa terjebak dalam siklus usaha yang tak dihargai, pengorbanan yang tak diakui, dan ekspektasi yang tak realistis. Seperti yang tertuang dalam penggalan lirik:
“Let you cut me open just to watch me bleed / Gave up who I am for who you wanted me to be”
(Terjemahan bebas: “Kubiarkan kau menguliti diriku hanya untuk melihatku terluka / Kuserahkan diriku demi menjadi sosok yang kau inginkan”).

Lirik ini menyentuh inti dari banyak pengalaman manusia modern: penghilangan jati diri demi penerimaan, pengakuan, atau sekadar bertahan dalam sistem. Lagu ini mengajak kita untuk merenung—apakah kita masih hidup untuk diri sendiri, atau telah kehilangan arah dalam upaya terus-menerus memenuhi ekspektasi orang lain?

Izinkan penulis mengutip dari Chat GPT (Ringkasan AI), Lagu "The Emptiness Machine" dari Linkin Park bercerita tentang seseorang yang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat (toxic) dan tidak bisa lepas, meskipun merugikan. Liriknya menggambarkan perasaan terjebak, keinginan untuk menjadi bagian dari sesuatu, dan kehilangan identitas diri. (Koreksi penulis jika salah). 😊

Melalui lagu ini, saya merasa seperti sedang melihat refleksi dari pengalaman pribadi saya sendiri, dan mungkin juga Anda yang membaca tulisan ini. Kita pernah—atau bahkan sedang—menjalani fase di mana pekerjaan, tekanan sosial, dan tuntutan hidup perlahan menggerus semangat, hingga menyisakan kekosongan yang tak dapat diisi hanya dengan materi atau pencapaian luar.

Apa yang disampaikan oleh Linkin Park dalam The Emptiness Machine bukan sekadar karya seni, melainkan sebuah gambaran nyata yang pernah—dan mungkin masih—saya alami dalam kehidupan pribadi. Lagu tersebut seolah menjadi cermin yang memantulkan kembali luka-luka batin yang selama ini tersembunyi di balik rutinitas dan tanggung jawab.

Saya pernah berada dalam fase di mana pekerjaan menjadi segalanya, seakan-akan seluruh nilai diri saya hanya bergantung pada pencapaian profesional. Hari-hari saya dipenuhi dengan target, tenggat waktu, dan ekspektasi—baik dari atasan, rekan kerja, maupun dari diri saya sendiri. Semakin keras saya berusaha, semakin saya merasa jauh dari diri saya yang sebenarnya. Pada titik tertentu, saya mulai mempertanyakan: Apakah semua ini sepadan?

Saya mengalami kehilangan makna, dan bahkan, kehilangan sebagian dari identitas diri saya sendiri. Rasa lelah bukan lagi sekadar fisik, melainkan mental dan emosional. Saya merasa seperti sedang berjalan dalam lingkaran yang tidak pernah selesai, di mana setiap pencapaian hanya membawa saya ke beban berikutnya, bukan kepuasan. Inilah yang oleh lagu itu disebut sebagai “mesin kekosongan”—sebuah sistem yang terus bergerak, tetapi tak membawa kita ke mana-mana secara batiniah.

Lebih menyakitkan lagi, saya pernah merasakan bagaimana kepercayaan yang saya bangun dengan tulus justru dikhianati, bagaimana harapan dibalas dengan perpisahan, dan bagaimana usaha keras berakhir dengan penolakan. Semua pengalaman itu membuat saya berada di titik rendah, tempat di mana saya mulai meragukan nilai diri sendiri.

Namun dari titik terendah itulah saya mulai belajar. Bahwa hidup bukan hanya soal memenuhi harapan orang lain, tetapi tentang bagaimana kita tetap berpegang pada prinsip dan jati diri, meski dunia mencoba membentuk kita menjadi sesuatu yang bukan diri kita. Saya mulai belajar untuk memisahkan antara pekerjaan dan kehidupan, antara ekspektasi dan kenyataan, serta antara pengakuan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Saya sadar bahwa manusia bukanlah mesin, dan kehidupan bukan sekadar tentang efisiensi, target, atau performa. Hidup adalah perjalanan spiritual, emosional, dan intelektual yang menuntut keseimbangan. Maka dari itu, saya menulis kisah ini bukan hanya sebagai pelampiasan, tetapi juga sebagai pengingat—baik bagi saya sendiri maupun bagi siapa saja yang membaca—bahwa kita berhak untuk hidup dengan makna, dan kita tidak harus mengorbankan jati diri hanya demi validasi sesaat.

Pada akhirnya, setiap dari kita akan melalui fase-fase dalam hidup yang tidak mudah—dimana kelelahan menjadi bagian dari keseharian, dan kehilangan arah terasa seperti kondisi permanen. Namun, sebagaimana luka bisa menjadi jalan menuju pemahaman, kekosongan pun dapat menjadi ruang untuk bertumbuh.

Apa yang saya alami—dan mungkin juga Anda alami—bukanlah kegagalan, melainkan bagian dari proses pendewasaan. Kita diuji bukan untuk dijatuhkan, melainkan untuk disadarkan. Disadarkan bahwa hidup yang bermakna tidak dibentuk dari pencapaian semata, melainkan dari kejujuran terhadap diri sendiri, ketulusan dalam menjalani peran, dan kesadaran akan siapa kita sebenarnya di hadapan Tuhan dan sesama.

Lagu "The Emptiness Machine" mengingatkan saya bahwa kita bukan produk dari sistem yang mencetak seragam manusia-manusia sukses versi dunia. Kita adalah individu yang unik, dengan cerita, luka, dan harapan yang tak dapat disamaratakan. Maka, jika hari ini kita merasa hampa, terjebak, atau kehilangan arah—beristirahatlah sejenak, renungkan, dan kembalilah menyusun hidup dari titik paling jujur dalam hati.

Saya menulis ini bukan karena saya telah selesai berjuang, tetapi karena saya masih dalam perjalanan. Dan saya percaya, selama kita masih memiliki kesadaran untuk kembali, harapan itu tidak pernah benar-benar hilang.

Untuk siapa pun yang membaca tulisan ini dan sedang merasa kehilangan—ketahuilah bahwa Anda tidak sendiri. Teruslah berjalan, meski perlahan. Teruslah berdoa, meski tak langsung dijawab. Dan teruslah percaya, bahwa di balik kekosongan ini, ada makna yang sedang menunggu untuk ditemukan.

Melalui narasi yang saya sampaikan ini, ingin meyakinkan bahwa judul dan kisah di balik lagu The Emptiness Machine, serta latar pengalaman hidup pribadi, bukan sekadar catatan biasa. Saya berharap kisah ini bisa menjadi cermin inspiratif, yang membantu kita memahami bahwa di balik kesulitan dan kekosongan hidup, selalu ada pelajaran dan hikmah yang tersembunyi.

Semoga tulisan ini tidak hanya menjadi bacaan ringan semata, tetapi mampu menggugah hati, menyalakan kembali semangat, dan membangkitkan kesadaran bahwa hidup adalah perjalanan spiritual yang harus kita tempuh dengan keikhlasan dan kesabaran. Saya berharap para pembaca tetap merasa terhubung, tidak bosan, dan tetap antusias serta ambisius dalam mencari ilmu dan hikmah kehidupan. Terutama dalam hal beradaptasi dengan perubahan, menerima kenyataan dengan lapang dada, serta menata langkah menuju kehidupan yang lebih baik.

Dan yang paling utama, semoga melalui segala proses ini, kita semakin terdorong untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, satu-satunya tempat kita kembali, mengadu, dan menggantungkan harapan. Karena pada akhirnya, tidak ada kekuatan yang benar-benar mampu menenangkan hati yang gelisah, selain ridha dan kasih sayang-Nya.

Semoga kita semua senantiasa dalam lindungan-Nya, dan diberikan kekuatan untuk terus melangkah, memperbaiki diri, dan berbagi cahaya kepada sesama. Selalu mulai dengan mengucapkan, Bismillahirauhmanirrohim.....

Sebuah Kehilangan, Sebuah Kesadaran

Siapa yang tidak mengenal Chester Bennington—sosok legendaris dalam dunia musik rock dan mantan vokalis utama Linkin Park, yang telah berpulang untuk selamanya. Chester meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 2017. Kepergiannya mengejutkan banyak pihak dan meninggalkan duka mendalam bagi para penggemar di seluruh dunia. Sebagai figur sentral dalam Linkin Park, Chester bukan hanya penyanyi dengan suara yang kuat dan penuh emosi, tapi juga simbol dari perjuangan batin yang selama ini mungkin tidak banyak diketahui orang.

Bagi sebagian besar penggemar, tentu sudah mengetahui kronologi, penyebab, serta latar belakang di balik kepergian Chester. Bagi yang belum, saya menyarankan untuk mencari dan membaca lebih dalam melalui berbagai sumber, agar mendapatkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Namun dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas secara rinci tragedi tersebut. Saya ingin mengajak kita semua melihat dari sisi lain—bahwa di balik kehilangan ini, ada pelajaran besar tentang kesehatan mental dan pentingnya ruang untuk bercerita.

Salah satu yang terinspirasi dari kisah serupa adalah Paddy Pimblett, seorang petarung UFC yang secara terbuka menyuarakan tentang stigma yang masih melekat di masyarakat—bahwa laki-laki tidak boleh menangis, tidak boleh mengeluh, dan tidak boleh bercerita.

Dalam salah satu momen emosional setelah pertarungan, Paddy menyampaikan pesan yang menyentuh:

.....” Aku terbangun Jumat pukul empat pagi, mendapati pesan salah satu temanku bunuh diri. Jadi, Ricky kawanku, kemenangan ini untukmu. Namun, ada stigma di dunia bahwa laki-laki tidak boleh bercerita. Jika kamu laki-laki dan beban yang dipikul terasa begitu berat hingga berpikir satu-satunya jalan keluar adalah bunuh diri, aku mohon, bicara kepada seseorang. Aku lebih baik mendapati teman menangis di pundakku daripada harus menghadiri pemakamannya minggu depan. Jadi aku mohon, mari kita buang stigma ini, dan kawan-kawan lelaki, mulailah bercerita.” .....

 Pernyataan ini sangat relevan, terutama di era di mana tekanan sosial, ekspektasi, dan beban hidup semakin kompleks. Banyak pria—dan juga wanita—yang merasa harus terlihat kuat setiap saat, hingga lupa bahwa kerapuhan adalah bagian dari menjadi manusia.

Kisah Chester Bennington, serta suara-suara seperti Paddy Pimblett, menyadarkan kita bahwa berbagi cerita adalah bentuk keberanian, bukan kelemahan. Menangis bukan tanda kekalahan, melainkan tanda bahwa kita masih punya hati yang hidup dan rasa yang dalam.

Maka, lewat tulisan ini, saya ingin mengajak siapa pun yang sedang memikul beban batin, untuk tidak memendam semuanya sendiri. Bicaralah. Carilah tempat yang aman. Buka ruang untuk dipahami. Karena hidup bukanlah perlombaan untuk terlihat paling kuat, melainkan perjalanan untuk menjadi manusia yang paling utuh—yang berani mengakui luka, bangkit kembali, dan tetap berjalan dengan iman serta harapan.

 https://magdalene.co/story/laki-laki-tidak-bercerita/

 

Membedakan Bukan untuk Membandingkan, Tapi untuk Memetik Hikmah

Sehubungan dengan dua kisah yang telah disampaikan sebelumnya—tentang kepergian seorang legenda musik, Chester Bennington, dan seruan kepedulian dari seorang petarung UFC, Paddy Pimblett—saya mengajak para pembaca untuk menyikapi keduanya secara bijaksana, dengan hati yang terbuka dan pikiran yang jernih.

Penting bagi kita untuk memisahkan narasi dari masing-masing tokoh, bukan untuk membandingkan siapa yang lebih kuat atau lebih lemah, tetapi agar kita bisa memahami bahwa setiap individu menghadapi perjuangannya dengan cara yang berbeda. Reaksi, pilihan, dan keputusan mereka dibentuk oleh latar belakang, lingkungan, dan kondisi batin yang unik dan kompleks.

Kisah Chester Bennington adalah pengingat bahwa bahkan jiwa yang paling bersinar pun bisa terperangkap dalam kegelapan yang sunyi. Ia meninggalkan warisan musik yang abadi, namun juga pelajaran pahit tentang pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental, bahkan di tengah gemerlap dunia yang tampak sempurna dari luar.

Sementara itu, suara lantang Paddy Pimblett mewakili harapan baru—bahwa sudah saatnya kita meruntuhkan stigma terhadap laki-laki yang dianggap tabu untuk menangis atau mengeluh. Keberaniannya menyuarakan hal tersebut membuka ruang bagi banyak orang, khususnya pria, untuk merasa aman dalam mengungkapkan luka yang tak tampak.

Dua narasi ini, meskipun berbeda jalan dan akhir, membawa pesan yang sama kuatnya: manusia butuh didengar, dipahami, dan diterima apa adanya.

Maka marilah kita tidak hanya menjadi pembaca yang mengangguk simpati, tetapi juga menjadi pribadi yang hadir untuk sesama—yang membuka telinga tanpa menghakimi, yang menyediakan bahu tanpa menggurui, dan yang mampu melihat bahwa setiap luka punya cerita, dan setiap cerita bisa menyembuhkan.

Semoga dari kedua kisah ini, kita bisa memetik buah hikmah, memperluas empati, dan terus menguatkan langkah dalam menjalani hidup yang penuh tantangan ini—dengan hati yang lebih lapang, dan iman yang lebih teguh.

 

I’M  HUMAN_Fandy W


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR DARI FILOSOFI SEEKOR KERA DAN BIJI DALAM LOBANG